Aktivitas Menyusui Yang Membuka Cakrawala Baru

Saya kira saya sudah siap dan paham mengenai dunia ASI dan menyusui ketika saya melahirkan anak pertama. Saya sudah bergabung dengan milis ibu menyusui lima tahun sebelum hamil, beberapa teman kantor pun telah menjadi contoh langsung bagi saya tentang bagaimana mengelola ASI perah sebagai ibu bekerja. Buku-buku referensi yang membahas ASI juga telah saya koleksi.

Di usia enam tahun saya bahkan bisa memberi saran pada mama (waktu itu saya baru punya adik) soal mengatasi bayi ‘ngempeng’ tapi tidak aktif menyusu, berkat majalah langganan mama. Lagipula, menyusui adalah hal yang alamiah, bukan?

Ternyata urusan ASI dan menyusui tidaklah sesederhana itu. Bahwa bayi bisa bertahan dengan cadangan makannya dan kalaupun butuh ASI masih sangat sedikit di tiga hari pertama pascapersalinan, itu saya tahu. Pihak rumah sakit tempat saya melahirkan juga alhamdulillah cukup mendukung ASI, termasuk dengan memberikan kelas breast care yang di antaranya mencakup pula praktik posisi menyusui yang tepat.

Ketika putri mungil saya menangis terus di hari-hari pertamanya di rumah akibat tak bisa melekat dengan baik, saya masih bisa menenangkan diri bahwa ‘semua akan berlalu pada waktunya’, sehingga tak berlanjut ke kepanikan akan kecukupan (ketidakcukupan, lebih tepatnya) ASI. Sewaktu tetangga datang menjenguk dan bilang hati-hati kalau pipi bayi terciprat ASI bisa merah-merah karena ASI itu keras, saya menanggapi dengan senyuman karena pernah membaca bahwa itu hanyalah mitos.

Namun, sekitar seminggu setelah saya resmi berstatus sebagai ibu, seorang teman memasukkan saya ke grup pendukung ASI di facebook. Dan tercenganglah saya membaca mengenai korelasi menyusui dengan pola haid, bahwa ASI perah tidak boleh dikocok (karena akan merusak rangkaian proteinnya), bahwa metode FIFO (first in first out) bukanlah yang terbaik untuk menyimpan ASI perah, bahwa sebagian ibu karena satu dan lain hal memilih untuk e-ping (exclusively pumping atau tidak menyusui secara langsung), bahwa ada ibu adopsi yang bisa menyusui anak angkatnya melalui mekanisme induksi laktasi, serta bahwa ada yang diistilahkan dengan ‘menyapih dengan cinta’.

Deretan informasi ‘baru’ di atas masih terus bertambah hingga hari ini. Saya kemudian belajar bahwa ada yang namanya tongue tie dan lip tie, ada kondisi yang disebut vasopasma puting, bahwa beberapa media penyimpanan maupun penyajian ASI perah sebetulnya tidak disarankan untuk digunakan, bahwa kurva pertumbuhan WHO didasarkan pada pertumbuhan optimal bayi yang disusui, bahwa pendonoran ASI harus mempertimbangkan  hukum Islam dan juga faktor kesehatan (bahkan meskipun secara tampilan luar si pendonor tampak sehat dan jarang sakit), juga bahwa mendukung pemberian ASI tidak seharusnya membuat kita menutup mata akan adanya kondisi khusus yang menuntut pemberian suplementasi (misalnya susu formula).

Tidak hanya mengenai ASI, dari grup juga saya pun jadi tahu mengenai Pedoman Umum Gizi Seimbang, prinsip-prinsip pemberian MPASI WHO terbaru, hingga pemakaian Kuesioner Praksrining Perkembangan (KPSP) Anak. Bukan semuanya hal baru, hanya saja terkadang cakrawala pengetahuan baru terbuka saat kita ‘bersentuhan’ dengan hal-hal tersebut. Sebagian yang lain memang merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dinamis dan selalu mengalami pembaruan.

Tak harus mengalami, dengan menyimak diskusi di grup pun kita bisa menambah ilmu mengenai hal yang mungkin belum terbayang sebelumnya. Dan dari situlah saya kemudian belajar mencari informasi dari sumber tepercaya.

Salah satu tantangan dalam menyusui selain faktor ibu dan anak sendiri adalah adanya banyak info yang berseliweran di sana-sini. Di dunia dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat, siapa saja bisa mencari maupun menuliskan informasi yang terjaring oleh mesin pencari. Ketimbang membuka text book (yang belum tentu dimiliki), mengecek dokumen grup (yang kadang harus menyisir satu-persatu judul dan dianggap ribet) atau pergi ke tenaga kesehatan terdekat hanya untuk bertanya, bagi sebagian orang tentu jauh lebih mudah ‘bertanya ke paman google‘.

Sebagai contoh, postingan saya di blog dengan klik terbanyak adalah mengenai menyusui sambil tiduran, yang diperoleh pembaca lewat mesin pencari. Saya memang jadi mengumpulkan (kadang menerjemahkan) beberapa pengetahuan yang saya peroleh di sana-sini di blog, dengan mencantumkan sumber yang in sya Allah kredibel, dengan tujuan semoga yang membutuhkan jadi tidak terlalu sulit mencari.

Informasi yang valid sebetulnya banyak tersedia, hanya saja menyaringnya terkadang bukan perkara mudah. Bahkan kadang ada yang bertentangan satu sama lain. Saya sendiri menikmati proses pencarian informasi yang bisa dipertanggungjawabkan, hingga oleh beberapa teman sesama anggota saya dibilang miss link link (meskipun adakalanya terpeleset juga dengan informasi yang sudah ada update terbarunya atau dari sumber yang ternyata punya konflik kepentingan).

Saya harap apa yang saya sampaikan, termasuk di blog, bisa sedikit membantu di tengah keterbatasan waktu ibu-ibu baru. Semoga sih dengan menyertakan sumber dan tautan aslinya, yang membaca jadi tertarik mencari tahu lebih jauh.

Hingga akhirnya saya ikut aktif sebagai salah satu admin grup dukungan menyusui tersebut. Terkadang ada anggota yang memprotes karena saran berbasis pengalaman yang mereka berikan (membersihkan sisa ASI di lidah bayi dengan popok bekas pakai, mengolesi putih-putih ‘bekas ASI’ di wajah bayi –yang sebenarnya bisa jadi dermatitis atopik– dengan ludah bangun tidur, atau menyarankan konsumsi booster ASI tertentu) saya timpali dengan masukan berbeda yang cenderung menyanggah mitos tersebut. Begitu kuatnya cengkeraman mitos dan info yang kurang tepat, ya. Tidak bisa langsung disalahkan juga karena mungkin bagi mereka hal tersebut terbukti berhasil dan aman, dan maksudnya juga sama baik: menolong anggota lain yang butuh jawaban.

Ya, hal penting lain yang saya pelajari selama berinteraksi di grup adalah perlunya komunikasi yang baik. Seorang teman pernah menyebutkan bahwa materi komunikasi ini juga diajarkan di kelas konselor laktasi, pertanda bahwa penyampaian yang baik memang menjadi salah satu kunci keberhasilan pendukung ibu menyusui.

Menyusui, Mudah atau Sulit?

Dengan dukungan keluarga dan izin Allah tentunya, saya bisa menyusui anak pertama hingga 26 bulan dan kini saya masih menyusui anak kedua yang berusia 20 bulan. Mudahkah jalan yang saya lalui dengan kondisi kesehatan kami yang cukup baik, sokongan orang-orang terdekat, kemudahan di lingkungan kerja, support dari teman-teman grup, juga suplai informasi yang melimpah?

Saya pernah terpikir kalau ditanya apakah menyusui itu mudah atau sulit, sebetulnya jawabannya bisa bervariasi tergantung pengalaman masing-masing orang.

mudahsulit.jpg

Menyusui itu mudah karena itulah jalan yang ditakdirkan Allah untuk memenuhi nutrisi bayi. Allah tidak akan membebani di luar kemampuan hamba-Nya, bukan? Menyusui pun ada baiknya dianggap mudah karena produksi ASI juga dipengaruhi oleh pemikiran ibu. Jika belum-belum sudah takut ASI sedikit, kecemasan yang muncul akan mengirimkan sinyal yang berpotensi menghambat produksi ASI karena menekan hormon oksitosin.

Namun, jangan lantas memandang aktivitas menyusui sebagai sesuatu yang “gitu aja kok”, remeh, atau sepele. Menyusui tidaklah gampang karena seperti yang sudah saya sebutkan di atas, walaupun sifatnya naluriah tetapi sesungguhnya perlu ilmu dan informasi yang tepat. Terkadang bahkan perlu pendampingan oleh ahlinya pada kasus-kasus khusus.

Lebih-lebih lagi, menyusui itu sulit bagi yang menghadapi tantangan secara langsung. Misalnya anatomi khusus baik ibu maupun bayi yang membuat proses menyusui ‘berdarah-darah’ (bisa secara harfiah karena melibatkan luka dan/atau tindakan bedah–putri kedua saya ada lip tie tapi tidak sampai perlu tindakan insisi, masih bisa diakali dengan pemosisian yang pas), tempat kerja yang jauh atau jam kerja yang amat padat, kolega yang memandang sinis perjuangan menenteng cooler bag berisi perlengkapan ASIP ke mana-mana, keluarga yang menganggap pemberian susu formula adalah sebuah keharusan bahkan ketika ASI ibunya mencukupi secara kuantitas (biasanya dengan alasan “biar nanti terbiasa kalau sudah disapih”), munculnya stres karena masalah rumah tangga yang memicu produksi ASI terhambat, dan sebagainya.

Salah satu masa sulit saya adalah ketika harus merelakan 4,5 liter ASIP mencair semua saat kabel freezer secara tak sengaja dicabut oleh ART tetangga yang kami mintai tolong mengecek kondisi rumah selama kami mudik. Beberapa teman yang tahu cerita saya menawari donor ASIP, tapi saya menyatakan hendak berjuang dulu. Syukurlah, saya bisa menyempatkan memompa ASI di tengah kesibukan acara pernikahan ipar di kampung halaman suami, dan pelan-pelan freezer mulai terisi lagi.

Hasil perah saya sendiri dari dulu tergolong pas-pasan sebenarnya. Kalau sedang memerah bersama beberapa teman di kantor kadang-kadang minder juga, tapi alhamdulillah Allah cukupkan yang tak melimpah itu bagi tumbuh kembang anak-anak, bahkan sempat berbagi dengan saudara yang memerlukan.

Karena pernak-pernik menyusui yang walaupun merupakan aktivitas alamiah tapi kurang tepat juga kalau dibilang sederhana itulah, saya mendukung adanya momen khusus seperti Pekan ASI Dunia yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 1 hingga 7 Agustus. Sebab, kepedulian masyarakat perlu terus ditingkatkan.

Memang ada yang mengatakan bahwa pada akhirnya daya juang seorang ibulah yang menentukan, contohnya pada kisah-kisah pemberian MPASI dini karena tekanan keluarga. Padahal bayi masih dalam usia ASI eksklusif yaitu di bawah 6 bulan, dan MPASI dini rawan mengancam kesehatannya. Ibu sebagai benteng terakhir dianggap sudah seharusnya bisa menegaskan, bayi saya ya aturan saya. Namun, kenyataannya tidak selalu seenteng itu untuk mempertahankan hak bayi. Nah, jika makin banyak pihak yang paham, tentu akan lebih baik, kan? Jadi energi ibu tak habis hanya untuk beradu pendapat dengan orang-orang yang padahal disayanginya juga.

Momen Pekan ASI Dunia biasanya diisi dengan kegiatan edukasi yang semoga menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat, baik awam yang seringkali terpapar mitos turun-temurun maupun tenaga kesehatan yang banyak menjadi tumpuan harapan tetapi pada praktiknya masih ada yang belum update. Media massa termasuk portal berita lalu ramai mengulas acara-acara tersebut bahkan membuat bahasan khusus yang bisa jadi menarik minat belajar pembaca yang mungkin sebelumnya tidak tertarik akan topik ASI.

Pada akhirnya, upaya sekecil apa pun akan begitu berharga. Mari dukung hak bayi untuk memperoleh ASI dan hak ibu untuk memberikan ASI-nya dan mendapatkan informasi tepat seputar menyusui, dengan apa yang kita bisa :).

Give-Away-ASI-dan-Segala-Cerita-Tentangnya-Dunia-Biza

2 thoughts on “Aktivitas Menyusui Yang Membuka Cakrawala Baru

  1. iya bener banget mba, Di era sekarang ada banyak info berseliweran, Kadang disampaikan oleh bukan ahlinya tapi bertindak seperti ahli. Terutama untuk urusan ASI dan parenting,. Benar2 harus selektif ya mba sebagai ibu. 🙂

    • Kalau mencantumkan sumber, atau mengajak baca di sumber aslinya yang memang ditulis oleh para ahli, masih mending ya Mba, sekalian ngajak belajar gitu. Tapi sering saya temukan saran yang personal, yang berlandaskan pengalaman, yang bahasanya tidak seformal rekomendasi ahli, biasanya malah lebih ‘dianggap’ oleh pencari saran, hehehe…saran ahlinya kadang suka mental.

Leave a reply to Ira Duniabiza Cancel reply